Bintan – Panglima Besar Gagak Hitam, Arba Udin atau yang biasa disapa Udin Pelor ikut menyoroti dan Angkat Bicara mengengenai permasalahan tanah di Pulau Potoh Kabupaten Bintan.
Udin Pelor mengatakan, Semoga ada jalan terbaik buat masyarakat Pulau Potoh dan Seharusnya Pemerintah Daerah turun tangan.
“Semoga ada jalan terbaik buat masyarakat Pulau Potoh, seharusnya pemerintah daerah harus turun tangan. Pemda kan tau bahwa pulau Potoh itu milik negara dan dikelola oleh masyarakat tempatan”, ucap udin kepada awak media RBNnews.co.id, Minggu (07-05-23).
Baca Juga : Rokok Ilegal H&D, OFO, Dll Beredar Bebas, Patut Diduga Ada Kongkalikong Dengan Petugas BC Batam
Lanjutnya, Hak tanah tersebut bernama tanah hak Ulayat Hak masyarakat setempat.
“Kalau pemerintah Kabupaten tidak tau tidak mungkin, karena melalui kepala desa dan perangkatnya meminta masyarakat untuk menjualnya. Ada apa ini sebenarnya?”, tegas udin.
Sebelumnya, diberitakan mengenai “Dugaan Oknum Pemerintah Desa Kelong Gelapkan Tanah Warga Seluas 1Ha“.
“Lahan kami ada 5.5 Ha di pulau potoh tersebut yang merupakan milik dari orangtua kami terdahulu atas nama alm Belus dengan surat G7 nomor :07/G-7/1983 yang diminta oleh kades kami Air kelubi untuk diganti rugi oleh pemerintah desa Kelong,” ungkap Suhardi cucu dari Alm Belus saat ditemui di kediamannya di pulau kecil, Sabtu (06-05-23).
Dijelaskannya, Pada bulan puasa kemaren keluarga Belus dipanggil oleh RW di desa Kelong bernama Husin untuk membayar ganti rugi lahan tersebut sebesar 150 juta sebagai DP nya, sedangkan tanah mereka hanya di bayar 4.5 Ha saja dari total 5.5 Ha yang tertera di dalam surat G7 tersebut.
Baca Juga : ABM : Maraknya Rokok Ilegal H&D, Pertanda Kinerja BC Batam Belum Becus. Ini Faktanya
“Kami minta pemerintah desa Kelong untuk segera membayarkan uang sisa lahan kami tersebut, dan juga minta kejelasan terkait lahan 1 Ha yang tidak diperhitungkan, untuk itulah kami sekeluarga sudah memasang patok lahan kami dengan spanduk yang menjelaskan bahwa lahan adakah 5.5 Ha sesuai yang tertulis dalam surat G7 tahun 1983 tersebut,” terang mereka.