RBNnews.co.id, Batam – Sidang lanjutan kasus perobohan Hotel Pura Jaya Beach Resort kembali digelar untuk kesekian kalinya di Pengadilan Negeri Batam, pada Selasa (30-07-24) siang.
Kuasa hukum penggugat dari PT Dani Tasha Lestari (DTL) kembali memendam kekecewaan terhadap jalannya persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Yuanne Marietta Rambe dengan hakim anggota Andi Bayu Mandala Putra Syadli dan Douglas R.P. Napitupulu .
Pengacara PT DTL, Muhammad Sayuti, SE, SH, dalam keterangan resminya, menyikapi hasil dari persidangan yang menghadirkan saksi dari turut tergugat.
“Kami selaku penasehat hukum, mendapatkan gambaran dan jawaban bahwa, dari dua saksi dimana salah satunya merupakan bagian dari divisi evaluasi dan pemetaan lahan atau alokasi lahan dengan tegas menyatakan mereka tidak mengetahui prosedur tentang pengalokasian lahan dan saksi menyatakan bahwa saksi baru bekerja sejak tahun 2021,” ucap Sayuti.
Dalam proses yang terjadi di eks Hotel Pura Jaya Beach Resort, sambung dia, saksi bagian evaluasi dan pemetaan tidak bisa menerangkan bahwa peralihan atau perolehan lahan terhadap pengajuan oleh individu maupun institusi itu tidak bisa dijawab dengan jelas.
“Bagaimana persyaratan ataupun prosedur untuk mendapatkan alokasi lahan. Sementara beliau juga tidak bisa memberikan sebuah gambaran bahwa perpanjangan pengalokasian lahan itu, juga tidak mempunyai kriteria tersendiri. Kenapa hal ini terjadi? Karena pada saat penasehat hukum PT DTL menyatakan pihak dari PT DTL juga mengikuti presentasi ataupun pengajuan perpanjangan melalui undangan yang disampaikan oleh pihak BP Batam, namun keputusan terakhir tidak serta merta menyatakan alasan apa yang tidak bisa diterima untuk perpanjangan,” jelas dia.
Sementara, ungkap Sayuti lagi, di bagian saksi lainnya yakni pegawai pengamanan aset BP Batam dengan tegas menyatakan bahwa hotel atau bangunan yang dirobohkan itu merupakan aset dari PT DTL.
Baca Juga : Rencana Tarif Listrik Naik, Gubernur Lira Kepri : PT. PLN Batam Jangan Buat Gaduh & Batalkan Kenaikan
Baca Juga : Diduga Langgar UU Nomor 30 Tahun 2014, PT. PLN Batam Diminta Batalkan Penyesuaian Tarif Listrik
“Dengan tegas tidak menyatakan itu merupakan aset dari BP Batam. Sehingga kami melihat disini ada sebuah perbuatan yang tidak selayaknya dilakukan oleh pihak tergugat 1 dan 2 maupun turut tergugat, dalam hal ini BP Batam,” sebutnya.
Lebih lanjut Sayuti kemudian menjelaskan lagi terkait surat keterangan yang menjadi acuan oleh pihak BP Batam, sebut dia, surat itu telah dibantah dengan tegas.
“Bahwa bangunan yang ada di Kota batam khususnya ex bangunan Hotel Pura Jaya Beach Resort yang telah dihancurkan itu mempunyai legalitas yang tegas yakni adanya kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan sesuai dengan keberadaan bangunan itu di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ucap dia lagi.
Ia pun menyebut, dari rangkaian persidangan yang telah dijalani, membuktikan para tergugat dan turut tergugat tidak dapat memberikan argumentasi yang tepat dan jelas.
“Jadi kami melihat bahwa persidangan demi persidangan baik tergugat 1 dan 2 maupun turut tergugat, tidak bisa memberikan sebuah argumen kejelasan tentang perbuatan yang dilakukan itu berdasarkan aturan ataupun ketentuan yang berlaku,” tegas dia.
Persidangan terkait perobohan hotel Pura Jaya Beach Resort ini akan dilanjutkan pada selasa pekan depan.
Pendapat Saksi Ahli
Sebelumnya dalam persidangan yang telah berlalu, saksi ahli penggugat, M. Syuzairi, yang pernah menjabat sebagai Asisten Ekonomi Pembangunan Pemko Batam dan saat ini adalah dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), memberikan penjelasan mengenai perbedaan status kepemilikan lahan di Batam.
Baca Juga : Tarif Listrik Naik Ketikan Ajaran Baru Sekolah, Dedek : Tambah Beban Masyarakat Batam
Baca Juga : Tarif Listrik Naik, Ketua Team Libas Kepri Minta PT. PLN Batam Segera Batalkan
Ia menekankan pentingnya proses clear and clean dalam pengelolaan lahan oleh BP Batam sebelum mendapatkan sertifikat dan Hak Pengelolaan Lahan (HPL).
Menurut M. Syuzairi, ada kesalahpahaman tentang Hak Guna Bangunan (HGB) yang harus diurus oleh perusahaan penerima alokasi lahan, bahkan setelah mendapatkan HPL.
“PPN tidak mengeluarkan hak guna bangunan jika masih ada hak penguasaan masyarakat di tanah tersebut,” jelasnya.
Dalam tanggapannya, Sayuti mempertanyakan apakah penerima alokasi masih memiliki prioritas perpanjangan WTO setelah 30 tahun.
M. Syuzairi menjawab bahwa dalam asas ekonomis, sebaiknya perpanjangan diberikan kepada pihak yang telah banyak berinvestasi dan memenuhi kewajiban seperti WTO dan PBB selama 30 tahun.
Sumber : Inikepri.com